Pendidikan Agama Islam Bab 4
BAB IV
KANDUNGAN SYAHADAT
1.Makna “Asyhadu” (أشهد)
Penggunaan lafadz “asyhadu” sebagai kata kunci dalam kalimat yang menjadi pintu gerbang Islam itu, tentu bukanlah tanpa sebab, karena ada lafaz lain yang maknanya mirip, misalnya “uqirru” (saya mengakui) maupun “U’linu” (saya memproklamirkan). Tapi toh bukan dua kata itu yang digunakan.
Jika ditanya, apa sebab pemilahan lafaz “asyhadu” itu, dan bukan yang lainnya? Jawaban yang tepat dan pasti benar adalah: Allahu a’lam (Allah-lah Yang Paling Mengetahui). Namun pasti ada hikmah yang bisa kita gali dari pemilihan lafaz tersebut.
Kata “asyhadu” sendiri sesungguhnya memiliki tiga makna, kata Ustadz Sa’id Hawwa dalam bukunya Al-Islam. Dan semua makna itu terpakai dalam Al-Qur’an. Apa makna-makna yang terkandung dalam kata “Asyhadu” itu? Al-ustadz Said Hawwa menjelaskan bahwa kata “asyhadu” dengan segala turunanya memiliki makna-makna:
Pertama, “melihat dengan mata kepala sendiri” (mu’ayanah مُعَايَنَة ). Ini terpakai dalam firman Allah Ta’ala, “Melihatnya (yasyhaduhu) para malaikat yang didekatkan.” ( QS Al-Muthafifin: 21). Kedua, “mengutarakan dengan kesaksian atau keterangan berkenaan dengan sesuatu atau seseorang yang dia ketahui berdasarkan hasil pengindraannya. “Asyhadu” dengan makna ini bisa kita temukan pada ayat:“Dan mintalah kesaksian (wa asyhidu) dua orang yang adil di antara kalian.” (QS Ath-Thalaq:2). Ketiga, “sumpah”. Al-Qur’an menggunakannya dalam ayat: “Apabila datang kepadamu orang-orang munafiq, kami bersumpah (nasyhadu) bahwa engkau adalah utusan Allah.” ( QS Al-Munafiqun: 1).
Ketiga arti Asyhadu – dengan segala turunan katanya – itu berjalin berkelindan: seseorang akan bersumpah ketika dia menyampaikan kesaksian. Dan tidaklah ia akan memberikan kesaksian kecuali atas dasar apa yang diketahui secara pasti.
Atas dasar uraian lafadz “asyhadu” dari sisi bahasa (lughah) itu, Ustadz Sa’id Hawwa mengatakan, bisa ditarik kesimpulan bahwa orang yang mengikrarkan dua kalimat syahadat seharusnya:
Pertama, “melihat” bahwa tiada tuhan selain Allah, dengan akal dan hatinya. Dan dalam rangka membimbing ke arah itu, Allah menegaskan: “Seandainya di langit dan di bumi itu ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya (langit dan bumi itu) akan hancur.” ( QS Al-Anbiya: 22).
Kedua, memberi kesaksian atas apa yang ia “lihat” itu dengan lisannya. Oleh karena itu mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan rukun Islam yang pertama. Tidaklah diterima keislaman seseorang kecuali dengan mengikrarkannya.
Dan yang ketiga, kesaksian itu haruslah didasari keyakinan tanpa keraguan. Rasulullah saw bersabda: “Tak seorang pun yang bersyahadat tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah secara tulus dari hatinya, melainkan pasti Allah haramkan baginya neraka.” (Riwayat Al-Bukhari dari Al-Qatadah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari hadits ini dengan mengatakan “Hadits itu berlaku untuk orang yang mengucapkannya lalu mati dalam keadaan memegang teguh kalimat tersebut. Dan kalimat syahadat itu juga bersyarat, yakni diucapkan secara ikhlas dari hati, tanpa keraguan, tulus, dan penuh keyakinan”.
Namun, lanjut beliau, kebanyakan orang mengucapkannya tanpa keikhlasan. Dan kebanyakan mereka mengucapkannya karena taqlid (ikut-ikutan) atau karena tradisi, semetara manisnya iman belum menghiasi hatinya. Dan justru orang mendapatkan siksa ketika mati atau di alam kubur adalah orang-orang seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ”Saya mendengar orang-orang mengucapkan sesuatu maka sayapun mengucapkannya”. (Fathul Majid, hal. 38).
Said Hawwa pun kemudian menjelaskan pula bahwa orang yang karena kecongkakannya dan pembangkangannya misalnya, lantas tidak bersyahadat dengan lisannya bahwa tiada tuhan selain Allah, maka sesungguhnya dia adalah kafir. Dan barang siapa yang hati dan akalnya tidak menjadi saksi atau ragu bahwa “tiada tuhan selain Allah” maka dia adalah munafiq walaupun ia mengucapkan kaliamat syahadat (Al-Islam, hal. 26).
Penggunaan lafadz “asyhadu” sebagai kata kunci dalam kalimat yang menjadi pintu gerbang Islam itu, tentu bukanlah tanpa sebab, karena ada lafaz lain yang maknanya mirip, misalnya “uqirru” (saya mengakui) maupun “U’linu” (saya memproklamirkan). Tapi toh bukan dua kata itu yang digunakan.
Jika ditanya, apa sebab pemilahan lafaz “asyhadu” itu, dan bukan yang lainnya? Jawaban yang tepat dan pasti benar adalah: Allahu a’lam (Allah-lah Yang Paling Mengetahui). Namun pasti ada hikmah yang bisa kita gali dari pemilihan lafaz tersebut.
Kata “asyhadu” sendiri sesungguhnya memiliki tiga makna, kata Ustadz Sa’id Hawwa dalam bukunya Al-Islam. Dan semua makna itu terpakai dalam Al-Qur’an. Apa makna-makna yang terkandung dalam kata “Asyhadu” itu? Al-ustadz Said Hawwa menjelaskan bahwa kata “asyhadu” dengan segala turunanya memiliki makna-makna:
Pertama, “melihat dengan mata kepala sendiri” (mu’ayanah مُعَايَنَة ). Ini terpakai dalam firman Allah Ta’ala, “Melihatnya (yasyhaduhu) para malaikat yang didekatkan.” ( QS Al-Muthafifin: 21). Kedua, “mengutarakan dengan kesaksian atau keterangan berkenaan dengan sesuatu atau seseorang yang dia ketahui berdasarkan hasil pengindraannya. “Asyhadu” dengan makna ini bisa kita temukan pada ayat:“Dan mintalah kesaksian (wa asyhidu) dua orang yang adil di antara kalian.” (QS Ath-Thalaq:2). Ketiga, “sumpah”. Al-Qur’an menggunakannya dalam ayat: “Apabila datang kepadamu orang-orang munafiq, kami bersumpah (nasyhadu) bahwa engkau adalah utusan Allah.” ( QS Al-Munafiqun: 1).
Ketiga arti Asyhadu – dengan segala turunan katanya – itu berjalin berkelindan: seseorang akan bersumpah ketika dia menyampaikan kesaksian. Dan tidaklah ia akan memberikan kesaksian kecuali atas dasar apa yang diketahui secara pasti.
Atas dasar uraian lafadz “asyhadu” dari sisi bahasa (lughah) itu, Ustadz Sa’id Hawwa mengatakan, bisa ditarik kesimpulan bahwa orang yang mengikrarkan dua kalimat syahadat seharusnya:
Pertama, “melihat” bahwa tiada tuhan selain Allah, dengan akal dan hatinya. Dan dalam rangka membimbing ke arah itu, Allah menegaskan: “Seandainya di langit dan di bumi itu ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya (langit dan bumi itu) akan hancur.” ( QS Al-Anbiya: 22).
Kedua, memberi kesaksian atas apa yang ia “lihat” itu dengan lisannya. Oleh karena itu mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan rukun Islam yang pertama. Tidaklah diterima keislaman seseorang kecuali dengan mengikrarkannya.
Dan yang ketiga, kesaksian itu haruslah didasari keyakinan tanpa keraguan. Rasulullah saw bersabda: “Tak seorang pun yang bersyahadat tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah secara tulus dari hatinya, melainkan pasti Allah haramkan baginya neraka.” (Riwayat Al-Bukhari dari Al-Qatadah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari hadits ini dengan mengatakan “Hadits itu berlaku untuk orang yang mengucapkannya lalu mati dalam keadaan memegang teguh kalimat tersebut. Dan kalimat syahadat itu juga bersyarat, yakni diucapkan secara ikhlas dari hati, tanpa keraguan, tulus, dan penuh keyakinan”.
Namun, lanjut beliau, kebanyakan orang mengucapkannya tanpa keikhlasan. Dan kebanyakan mereka mengucapkannya karena taqlid (ikut-ikutan) atau karena tradisi, semetara manisnya iman belum menghiasi hatinya. Dan justru orang mendapatkan siksa ketika mati atau di alam kubur adalah orang-orang seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ”Saya mendengar orang-orang mengucapkan sesuatu maka sayapun mengucapkannya”. (Fathul Majid, hal. 38).
Said Hawwa pun kemudian menjelaskan pula bahwa orang yang karena kecongkakannya dan pembangkangannya misalnya, lantas tidak bersyahadat dengan lisannya bahwa tiada tuhan selain Allah, maka sesungguhnya dia adalah kafir. Dan barang siapa yang hati dan akalnya tidak menjadi saksi atau ragu bahwa “tiada tuhan selain Allah” maka dia adalah munafiq walaupun ia mengucapkan kaliamat syahadat (Al-Islam, hal. 26).
2.Makna “Ilaah” (إلا الله)
Kalimat lain yang perlu dijelaskan adalah : “ilaah”. Dalam penggunaan bahasa Arab, kata “ilaah” (dengan segala bentuknya dari aliha–ya’lahu) memiliki beberapa makna. Di antara makna-makna yang sering diucapkan dengan kata-kata itu adalah: berlindung, merasa tenang, sangat mencintai, dan mengabdi.
Dan seperti halnya lafadz “asyhadu” arti yang terkandung dalam lafadz “ilaah” juga mempunyai kaitan arti satu sama lain. Kaitannya, mengutip penjelasan ustadz Sa’id Hawwa adalah: Seseorang hanya akan berlindung kepada sesuatu atau seseorang yang membuat dia merasa tenang. Lantas, jika sesuatu atau seseorang itu telah mampu membuat dia merasa tenang maka dia akan mencintainya. Dan jika seseorang sangat mencintai sesuatu atau seseorang maka apapun yang dikehendakinya olehnya akan dipatuhinya.
Karenanya, manakala seseorang mengucapkan “la ilaaha illallahu” dia sesungguhnya tengah mengikrarkan kalimat “Tidak ada yang menjadi tempat berlindung selain Allah; tidak ada yang membuat saya tenang dan tenteram selain Allah; tiada yang lebih saya cintai selain Allah. Dan oleh karena itu saya tidak mengabdi kepada selain Allah.”
Dan memang Al-Qur’an telah mengarahkan manusia Muslim untuk mempunyai sifat dan sikap seperti itu, di antaranya:
· Seorang muslim tidak boleh berlindung kepada selain Allah. Berlindung kepada selain Allah sama sekali tidak mendatangkan manfaat. Allah menginformasikan tentang pernyataan jin. ”Dan sungguh ada kaum laki-laki dari manusia yang minta berlindung kepada kaum laki-laki dari jin, maka mereka (manusia) itu hanya menambah mereka (jin-jin) semakin congkak.” (QS Al-Jin: 6). Ayat itu menegaskan tentang kesia-siaan orang yang minta perlindungan kepada selain Allah.
· Seorang mukmin mendapat ketentraman dengan mengingat Allah. Firman Allah: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tenang tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengigat Allah-lah hati akan menjadi tenteram.” ( QS Ar-Ra’ad: 28).
· Orang beriman akan menjadikan Allah sebagai Yang paling dia cintai melebihi yang lain: “Dan di antara orang-orang yang menyembah sekutu-sekutu selain Allah yang mereka cintai sebagaimana mereka mencintai Allah. Sedangkan orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” ( QS Al-Baqarah: 165).
· Orang yang beriman mempersembahkan kehidupan dan pengabdiannya kepada Allah. Ini sesuai dengan ikrar harian: ”Hanya kepada Engkaulah kami mengabdi dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.” ( QS Al-Fatihah: 5).
Kalimat lain yang perlu dijelaskan adalah : “ilaah”. Dalam penggunaan bahasa Arab, kata “ilaah” (dengan segala bentuknya dari aliha–ya’lahu) memiliki beberapa makna. Di antara makna-makna yang sering diucapkan dengan kata-kata itu adalah: berlindung, merasa tenang, sangat mencintai, dan mengabdi.
Dan seperti halnya lafadz “asyhadu” arti yang terkandung dalam lafadz “ilaah” juga mempunyai kaitan arti satu sama lain. Kaitannya, mengutip penjelasan ustadz Sa’id Hawwa adalah: Seseorang hanya akan berlindung kepada sesuatu atau seseorang yang membuat dia merasa tenang. Lantas, jika sesuatu atau seseorang itu telah mampu membuat dia merasa tenang maka dia akan mencintainya. Dan jika seseorang sangat mencintai sesuatu atau seseorang maka apapun yang dikehendakinya olehnya akan dipatuhinya.
Karenanya, manakala seseorang mengucapkan “la ilaaha illallahu” dia sesungguhnya tengah mengikrarkan kalimat “Tidak ada yang menjadi tempat berlindung selain Allah; tidak ada yang membuat saya tenang dan tenteram selain Allah; tiada yang lebih saya cintai selain Allah. Dan oleh karena itu saya tidak mengabdi kepada selain Allah.”
Dan memang Al-Qur’an telah mengarahkan manusia Muslim untuk mempunyai sifat dan sikap seperti itu, di antaranya:
· Seorang muslim tidak boleh berlindung kepada selain Allah. Berlindung kepada selain Allah sama sekali tidak mendatangkan manfaat. Allah menginformasikan tentang pernyataan jin. ”Dan sungguh ada kaum laki-laki dari manusia yang minta berlindung kepada kaum laki-laki dari jin, maka mereka (manusia) itu hanya menambah mereka (jin-jin) semakin congkak.” (QS Al-Jin: 6). Ayat itu menegaskan tentang kesia-siaan orang yang minta perlindungan kepada selain Allah.
· Seorang mukmin mendapat ketentraman dengan mengingat Allah. Firman Allah: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tenang tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengigat Allah-lah hati akan menjadi tenteram.” ( QS Ar-Ra’ad: 28).
· Orang beriman akan menjadikan Allah sebagai Yang paling dia cintai melebihi yang lain: “Dan di antara orang-orang yang menyembah sekutu-sekutu selain Allah yang mereka cintai sebagaimana mereka mencintai Allah. Sedangkan orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” ( QS Al-Baqarah: 165).
· Orang yang beriman mempersembahkan kehidupan dan pengabdiannya kepada Allah. Ini sesuai dengan ikrar harian: ”Hanya kepada Engkaulah kami mengabdi dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.” ( QS Al-Fatihah: 5).
Komentar
Posting Komentar